Sunday, December 21, 2008

Apa yang harus selalu kau bawa?

Barang apa yang selalu ada di tas mu?
Kalau pertanyaan itu ditujukan padaku, ada tiga benda yang selalu wajib kubawa, yaitu:
1. Handphone: Rasanya agak berlebihan juga ya kalau handphone itu termasuk barang primer, hanya saja, aku hampir tidak bisa terlepas dari handphone. Tugas-tugas kelompok di Teknik Industri, selalu membuatku harus bisa berhubungan dengan seluruh teman-temanku, di samping pacar ya. Hehehe. Handphone sonyericsson K770i warna coklat punyaku, sudah dipenuhi oleh 699 nomor, dari 1000 tempat yang tersedia, dan disertai kamera 3.2 MP yang bisa digunakan di berbagai kondisi. Mau urusan apapun, tinggal klik. Ikastara bandung, oke, tugas PTI atau OR, oke, atau bahkan mama dan papa. Selain itu, telkomsel flash ku yang aktif, praktis digunakan di mana saja. Tinggal colok ke laptop, nyala deh. Bener-bener handphone multifungsi, yaitu GPRS, SMS, telepon, bahkan reminder. Kalau handphone esiaku, masih berada di posisi dua, dengan merek Samsung. Ada kamera VGA juga, dan mampu menampung 1000 nomor dengan yang sudah terisi 300 nomor. Benar-benar murah dengan nomor esia di dalamnya. Kayaknya, kalau mau cari sponsor, anak TI ITB harus ke esia, karena lebih dari 50% mahasiswanya menggunakan esia.
2. Dompet: Ya iyalah. Gimana mau makan, kalau uang aja nggak ada. Wajarkan kalau dompet merupakan barang wajib bawa. Dompet selalu berisikan uang cash sekitar 100 ribu aja udah cukup, dan jangan lupa ATM buat kalau mau hedon. (hahaha.. Padahal ga pernah ada isinya :P). Selain ATM dan uang cash, sertakan juga uang receh buat pengamen, KTP yang masih aktif dan juga SIM.
3. Payung: Entah mengapa, karena bogor sering hujan, aku selalu terbiasa membawa payung ke mana pun. Rasanya bete aja, kalau misalnya hujan turun, aku harus menunggu sampai reda, mendingan terobos saja, tentu saja dengan payung. Yah, kalau memang kira-kira akan pulang agak malam, jangan lupa ditambah jaket. Bandung yang terkenal dengan dinginnya, memang tidak main-main dengan udara dinginnya dan sering hujan juga ternyata. So, sedia payung sebelum hujan.
Bagaimana dengan kamu? Apa yang selalu ada dalam tasmu??

Saturday, December 13, 2008

TN ku..

Lahir menjadi anak satu-satunya membuatku sangat manja. Sampai SMP, aku bahkan hampir tidak pernah membantu ibuku mencuci di rumah, membantu memasak, semuanya dikerjakan oleh Pembantuku.
Sampai suatu hari, takdir mengubahku.
Aku masuk ke SMA swasta yang amat sangat terkenal akan kedisiplinannya. Sekolah itu terletak di kota Magelang. Sistem semi militer berasrama kualami selama tiga tahun.
Bukan hanya hal baik saja yang kuterima, selain kedisiplinan yang keras tentunya. Setelah aku lulus pun, aku sendiri sampai heran, bagaimana bisa aku begitu kuper dan buta dunia luar. Aku ingat, dulu ketika liburan tiba, banyak sekali band-band baru yang tidak kuketahui, sampai-sampai ayahku menertawakanku.
Ya, kami hanya diberi kesempatan satu kali setiap minggunya untuk keluar kampus. Itupun hanya sekitar kota Magelang. Jika sudah kelas 2, boleh juga ke Jogja. Namun kadang-kadang sayang biayanya aja. Lagipula jaraknya yang cukup jauh, membuat aku kelelahan ketika balik lagi sesampainya di kampus. Salah satu kelemahan lulusan SMA ini ialah kuper. Walaupun Koran selalu tersedia di area kelas tiap tingkatan, namun rasanya masih kurang. Internet pun belum bisa diakses dengan bebas, bagaimana mau akses, paling-paling harus ke fasnet (warnet-red) yang lamanya setengah mati dan jam bukanya pun terbatas sekali. Mau telepon rumah? Yah, sisihkan saja uang untuk menelepon di wartel, karena handphone hukumnya haram.
Aku juga ingat, di radio pernah ada ucapan salah satu ortu dari siswa TN, yang menyesal memasukkan anaknya di sana, karena ia jadi sangat tidak gaul dan tidak tahu apa-apa.
Walaupun begitu, tetap saja kita tidak bisa menstereotype-kan bahwa semua anak TN kuper. Mungkin saja, akunya dulu yang begitu menutup diri atau si anak yang katanya kuper itu memang tidak mau tahu hal di luar.
Nyatanya, alumni TN terkenal dengan jaringan dan kesolid-annya, walaupun sudah lulus. Jangan heran jika Anda pernah melihat sekumpulan anak TN dari yang mukanya udah tua banget, sampai yang masih mahasiswa, karena sering sekali aku bertemu dengan abang angkatan 1 dan aku angkatan 14. Lihat betapa jauhnya bukan? Namun, belum pernah bertemu bukan halangan. Cukup memakai jaket almamater di jalan, pasti aku sudah disapa banyak orang yang bahkan baru pertama kali kulihat.
Dulu, aku amat membenci berbagai tradisi yang menurutku sudah kuno dan nggak banget. Dulu aku paling takut ketika acara makan. Bukan karena aku dipukuli atau bahkan ditampar. Sama sekali bukan. Tapi aku harus menghapal seluruh kakak perempuan, yang nantinya akan menjadi teman makanku. Wah, memang sih hanya dua angkatan, dan siswi perempuan jauh lebih sedikit daripada siswa laki-laki. Tapi rasanya, mengahapal 52 kakak kelas 3 dan 72 kakak kelas 2 sudah merupakan siksaan bagiku. Apalagi temanku saja jumlahnya sudah 97. Ampun. Kalau tidak bisa jawab? Yah, pastinya sih Cuma malu.
Lalu belum lagi segudang tata tertib yang diajarkan oleh kakak-kakak PKS. Baju harus memiliki empat garis, 2 di depan dan sisanya di belakang. Sepatu harus kinclong sempurna, gesper harus mengkilap sempurna. Tak lupa mengisi kantong baju dengan notes dan buku saku. Membawa saputangan, pulpen dan memakai nametag dimana pun berada. Jika lupa? Paling-paling disuruh lari keliling atau lari ke graha mengambil barang yang tertinggal.
Makan tidak boleh terlambat. Di meja makan, terdapat 2 orang kakak kelas 3, 2 orang kakak kelas 2 dan aku bersama temanku. Aku harus sigap memindahkan centong nasi, sendok sayur, tempat nasi, dan tempat sayur. Makanpun tangan tidak boleh menyentuh meja, makan nasi harus berurutan dari bagian yang paling atas.
Dulu aku paling suka dengan kegiatan belajar. Selain bisa bertemu rekan-rekan pria, paling tidak aku tidak harus dipelototi oleh kakak-kakak. Di kelas pun, terkadang kakak/abang yang memiliki nomor absen yang sama dulunya, terkadang datang, membawakan makanan ringan atau sekedar menghibur adik-adiknya. Dulu aku ingat, bahkan pacar kakak absenku pun sering datang mengunjungiku. Alasannya klasik, menanyakan tentang kakakku.
Pulang sekolah, aku makan siang dan kalau beruntung ada sidak, yah, siap-siap saja lari keliling graha, atau pushup sesuai dengan pelanggaran. Padahal rasanya tangan dan kaki ini sudah lelah akibat lari di pagi hari atau berenang. Setelah itu, bisalah istirahat sebentar, itupun kalau tidak ada cucian. Kalau harus mencuci, ya mencuci. Jangan pernah lupa mengangkat jemuran yang sudah kering, dan menyetrikanya sebelum dimasukkan ke dalam lemari.
Setelah itu, biasanya ada kegiatan seperti pelajaran bela Negara dan Kenusantaraan&Kepemimpinan. Sebenarnya aku suka kedua pelajaran itu, karena sifatnya ringan dan menambah wawasan yang sama sekali belum pernah kudapatkan. Tapi, baju bela Negara sangat sulit untuk dicuci karena besar. Belum lagi sepatu PDL yang bentuknya kayak sepatu hansip itu. Kalau tidak mengkilap, siap-siap saja lari (lagi).
Malam, setelah makan, aku pun harus berada di meja belajar sejak jam 7 malam sampai jam 9. Biasanya sih yang efektif hanya menjelang ujian atau ulangan harian. Tapi lumayan, kadang-kadang kami mengisinya dengan mengerjakan PR bersama atau membahas pelajaran di kelas yang tadi terlewat akibat ketiduran. Hehehhe. Tapi tak jarang juga kulewati jam belajar malam dengan tidur atau hanya mengobrol dengan teman sebelahku.
Wah, dari tadi kok ngeluh melulu ya? Hehehe.
Setelah aku kos sewaktu kuliah, ternyata kesemuanya ini memberikan manfaat yang amat sangat berarti.
Lihat saja:
1. Menghapal nama kakak kelas, membuatku kini mudah sekali menghapalkan nama orang. Walaupun masih sering lupa juga, tapi lumayan membuatku memaksa menghapal wajah orang yang pernah kukenal.
2. Baju harus bergaris, itu sebenarnya representasi dari lipatan baju di lemari. Andai tidak digaris pun sebenarnya sudah akan terdapat garis. Namun jika digaris dari awal, akan memudahkan kita saat menata atau melipat baju dalam lemari
3. Sepatu dan gesper kinclong. Merupakan bentuk bahwa setiap hari kita harus mempersiapkan segala sesuatu untuk mendapatkan kesan yang baik dari teman-teman di sekitar kita. Malu juga kan kalau melihat sepatu yang kotor dipakai kemana-mana.
4. Membawa sapu tangan, pulpen, notes. Penting banget! Terutama buat mahasiswa baru yang belum hapal jadwal kuliahnya. Harus rajin-rajin mencatat jadwal ruangannya, bahkan petanya kalau bisa. Dan kalau habis lari-lari karena telat, lap keringet deh pakai sapu tangan. Praktis!
5. Peraturan meja makan sih representasi dari table manner. Yah, bagaimanapun juga, kita sebagai kaum wanita masa kalau makan seperti supir bis, asal-asalan. Anggun dikitlah.
6. Jam belajar malam. Sangat berguna bagi para mahasiswa. Tentu saja jadwal kuliah yang berantakan harus memaksa kita mampu membagi waktu dengan baik. Salah-salah malah kebanyakan main karena sudah dikekang tiga tahun. Belajar dua jam sehari sudah cukup sekali dan bisalah kita membuang jauh-jauh status deadliners kita. Kuliah masih deadliners? Wah, hati-hati saja.
7. Selebihnya, seperti mencuci, menjemur dan menyetrika, merupakan investasi bagi kita kaum hawa. Lulus-lulus, udah siap nikah. Tinggal belajar masak aja. Hehehehe. Buat kaum adam, yah pasti bisa lebih toleran sama istrinya nanti, karena tahu bahwa pekerjaan-pekerjaan itu nggak mudah.
8. Olahraga dan Berenang. Well, hal ini menyebabkan lengan besar dan betis besar bukan percuma loh. Ospek saat kuliah atau bahkan hanya ketika melakukan aktivitas sehari-hari, badan kita pasti lebih fit dibanding teman-teman lainnya. Dijamin.

See, semua ada hikmahnya.

Wednesday, October 8, 2008

Rumah itu Setahun Sekali

Aku dan keluargaku selalu mempunyai rutinitas setiap kali Lebaran. Ya, tak lain tak bukan adalah mudik. Walaupun hampir setiap tahun kami terjebak macet, namun kami tak pernah kapok.

Aku selalu mudik ke Malang, tempat kakekku berada. Walaupun ia telah tiada, namun karena keluarga ibuku sangat besar sekali, kami semua selalu menyempatkan untuk dating, entah hanya untuk kumpul bareng ataupun jalan-jalan bareng.

Aku selalu melewati jalur pantura, melewati Indramayu tempat kakek dan nenekku dari Ayah, lalu lanjut ke Brebes-Tegal-Pekalongan, hingga Semarang. Kemudian ke Salatiga lalu Solo. Selanjutnya melewati Sragen dan lanjut ke kota Ngawi. Lalu terus saja melewati Nganjuk-Blitar-hingga Malang. Jangan harap tempat kakekku itu di kota Malang, melainkan di Malang coret alias hampir berdekatan dengan Blitar. Aku pun tak pernah berharap menemukan desa kakekku itu di Google Earth, karena tempat kakekku itu berada di desa Jambuwer, di kaki Gunung Kawi. Jadi, jangan heran kalau ke kota Malang saja, aku harus menempuh waktu dua jam sendiri. Belum jika macet atau pasaran. Wah, jangan harap dua jam bisa mencapai kota Malang.

Aku mempunyai 13 sepupu. Wajar saja, Ibuku 8 bersaudara. Kami selalu mempunyai acara tahunan sendiri. Waktu aku kecil dulu, aku ingat sepupuku sudah SMA dan SMP, mereka selalu membuatkan acara untuk kami. Drama merupakan favorit kami. Kadang drama romantis, kadang drama horror, yang akhirnya selalu tertebak, yaitu komedi karena ulah sepupu-sepupuku yang masih kecil-kecil. Kadang kami juga mengitari daerah sekitar desa kakekku dengan menggunakan mobil, mencari-cari kuburan dan tentu saja, bagian sepupuku yang lebih tua menakut-nakuti sepupuku yang lebih kecil.

Walaupun begitu, kami selalu menantikan Lebaran itu setiap tahun. Walaupun hanya sebegitunya, tapi kami begitu ingin tahu keadaan satu sama lain. Kadang aku ingin tahu bagaimana keadaan sepupuku yang ada di Surabaya ataupun bahkan yang satu kota tempatku kuliah, karena saking jarangnya kami bertemu.

Dulu, ketika kakekku masih ada, kami selalu pergi makan ke Blitar ataupun Malang, mampir sebentar ke alun-alun untuk beli bakso atau hanya sekedar es, kemudian mampir ke sungai hanya untuk main-main. Lima tahun yang lalu, kakekku tiada. Namun ternyata tradisi itu kami lanjutkan. Memenuhi rumah kakekku, kemudian pergi bermain-main. Kami selalu tak lupa menikmati hasil kebun kakekku yang mulai tidak terurus, entah mengambil kelapa ataupun jambu ataupun mangga.

Selebihnya, rumah kakekku itu kosong melompong, bahkan kalau kau meninggalkan kotak pada tahun ini, tahun depan pun masih akan dapat kau temukan. Tidak ada orang yang menungguinya. Kedua kakak ibuku yang berada di dekat rumah kakekku pun hanya sesekali melongok atau hanya sekedar menyalakan dan mematikan lampu.

Biarlah begitu, agar kami selalu merindukan rumah itu setiap Lebaran.